Minggu, 25 November 2007

Islam Pembebasan

DIMENSI LIBERALISASI DALAM PESAN ISLAM1

Pengantar
Dalam perkembangan dan gerakan pemikiran Islam, mencari otentisitas kebenaran Islam telah sangat panjang dicari dalam dua tradisi besar Islam dengan ragam variannya : Sunni dan Syi`ah. Keduanya hampir mufakat mencari akar otentisitas pada bagaimana Nabi dan generasi di masa awal memahami wahyu dalam ruang sejarah mereka, tetapi berujung pada interpretasi otentisitas yang nyaris buntu untuk dipertemukan. 2

Kebutuhan atas otentisitas tersebut semakin mendesak seturut tantangan atas peran agama yang lebih progresif dalam menciptakan tatanan dunia yang adil dan penuh perdamaian dalam mobilitas idiologi dan sosial yang sangat tinggi. Terdapat anggapan cukup luas bahwa ‘agama‘ dalam banyak kasus justru memberikan banyak sumbangan berarti pada munculnya kekerasan, dukungan pada kekuasaan yang tiran, diskriminatif, dan menyimpan muatan tunda sekrarianitas.

Dalam makalah singkat ini, dengan arah kemufakatan yang sama dalam tradisi besar Islam. -- Mudah – mudahan tidak nyaris buntu untuk dipertemukan -- penulis akan mendedah secara singkat beberapa dimensi penting dalam watak liberalitas ajaran Islam.

Konteks Pembebasan dalam Kerasulan Muhammad
“ Theologi Pembebasan “ merupakan istilah kontemporer yang melapisi suatu pemikiran, refleksi, dan gerakan keagamaan pada penghujung abad XX yang berupaya mencari otentisitas agama pada ranah praktis dalam mewujudkan “ keadilan yang komprehensif, refleksi theologis yang muncul darinya, dan pembentukan ulang praksis berdasarkan refleksi tersebut “. Pada mulanya term ini banyak diperkenalkan oleh tokoh – tokoh gerakan keagamaan dalan naungan gerakan gereja di Amerika Latin dalam menentang represifitas politik dan hegemonik tiran rezim – rezim berkuasa.3

Dalam perkembangan mutakhir, istilah ini menjadi suatu mainstraim baru dalam wacana keagamaan yang digendong dalam suatu artikulasi ulang atas theologi keagamaan yang formatif – skolastis yang cenderung minim dengan nilai – nilai praxis. Theologi pembebasan ini diandaikan tampil pada sosok individu maupun kolektif tokoh – tokoh keagamaan yang menempatkan agama sebagai basis bagi legitimasi dan identitas perjuangan bagi keadilan dengan mengemaskulasi simbol-simbol artifisial fakultatif.

Pandangan ini muncul, dalam kepercayaan penulis, sebagai respon atas pelapisan dan penyelimutan bertahap atas makna substansial essensial agama – agama dunia dalam perjalanan panjang sejarah yang memintal agama pada pelembagaan – pelembagaan artifisial dan simbolik-ritualis. Bahkan dalam tahap paling kritis, terjadi penunggalan antara agama dan pemikiran agama sehingga mengkritisi penafsiran agama menjadi tugas sulit dan penuh resiko karena akan dianggap sebagai mengganggu agama itu sendiri.

Keyakinan penulis, memahami kerasulan Muhammad dalan pelapisan ` theologi pembebasan di atas dapat dicari maknanya sebagai perpanjangan kehendak Tuhan yang aktif dalam sejarah melalui peraturan–Nya dalam kitab suci. Makna ini dapat dicari dalam ruang terbuka teks yang penuh tenggara– tenggara duniawi, historia dan kaya lakon–lakon dari model kenabian pra Muhammad. Makna-makna ini dibuka dalam peran – peran responsifnya atas wahyu dalam sejarah pewahyuan Mekkah dan Medinah yang phenomenal dalam sejarah. Akan penulis tawarkan pendekatan ini :

Periode Mekkah : Seruan Moralis Nabi Kuno yang Berwenang
Para mufassir dan sejarawan klasik mengkonstatir peran terbuka Nabi di Mekkah. Periode ini ditandai oleh seruan–seruan Al-Qur`an yang lebih bersipat umum dalam obyek dan moral spesifik dalam materi. Dalam bukti – bukti :
Kata ` manusia ` ( an – nas dan bani Adam ) banyak digunakan dalam pembuka dalam seruan bahwa obyek seruan wahyu terbuka bagi segenap lapisan masyarakat di luar jangkauan atribut kelompok kepercayaan;

kandungan ayat-ayat Makki lebih penuh muatan seruan tauhid yang simultan dan menghentak jantung kepercayaan masyarakat arab yang terpecah – pecah, liar, dan keras kepala ( Jahiliah )
Isu-isu besar ayat Makki sangat diwarnai oleh seruan kepedulian atas kemiskinan, yatim, dan perbudakan sebagai suatu respon aktual Al-Qur`an pada sistem sosio-ekonomi Mekkah yang eksploitatif dan struktur sosial yang berubah cepat dalam model kota perdagangan kuno Arabiah yang dikuasai oleh lapis Aristokrat Quraisy.4

Penggalan ayat-ayat Makki merupakan kombinasi hurup yang menghentak, satuan ayat yang pendek – pendek dalam karakteristik seruan yang tegas seperti terlihat dalam banyak surat di juz 30, sangat cocok dengan arah pewahyuan Makki.

Sejarah Nabi – Nabi Arabia kuno banyak disebut dalam berbagai surat yang meneguhkan karakteristik dari kontinuitas tradisi monoteistik. 5 Ini makin memperkuat daya cakup terbuka seruan Qur`an antar kelompok beriman di lingkungan ahl al-kitab dan hanif di satu sisi, serta pengukuh-asasan netralitas seruan bagi kalangan non-ahl al-kitab dan hanif yang dikenal sebagai kelompok ummiyyin pada struktur tertutup sistem sosio-ekonomi Aristokrat Quraisy di sisi yang lain.

Hal yang kadang disalahpahami, seruan monoteistik dianggap sebagai satu-satunya target wahyu Makki, padahal berbarengan dengan seruan tersebut, peran kenabian pra Muhammad secara konsisten dituturkan untuk mengukuhkan seruan Rasulullah pada upaya pembebasan masyarakat dari kemiskinan struktural karena keserakahan sistem ataupun pemberdayaan masyarakat marginal (kelompok miskin, yatim, wanita dan budak) yang tersisih akibat struktur sosial yang diskriminatif yang diturunkan dari pandangan ketuhanan yang paganistik (isyrakiyyah).

Ketauhidan dalam sejarah kenabian memiliki ujung bagi efektifitas pembebasan manusia dari selain penghambaan pada Tuhan. Nuh, Musa, Ibrahim, Isa, Yusuf, Daud, Sulaiman, Zakaria dan ribuan Nabi lainnya adalah utusan– utusan Tuhan yang memberikan peringatan, penyadaran dan sekaligus melakukan gerakan aktif pembebasan. Musuh aktif mereka yang sering dirujuk Qur`an adalah kelompok al mala` ( aristokrasi ). Dalam tahap inilah Nabi memainkan perannya sebagaimana nabi–nabi sebelumnya memperjuangkan nilai–nilai kemanusiaan di bawah prinsip tauhid.

Sebagai catatan khusus penulis, pada periode ini, Rasullah memerankan kenabian lebih didasarkan pada wewenang6 bukan kekuasaan. Sebuah otoritas yang muncul dalam hubungan pribadi tanpa ada kendala fisik atau hukum. Dalam ranah inilah, kerasulan Muhammad di Mekkah menempati peran vital kenabian di luar kerangka struktur politis dan ruang kekuasaan.7 Wahyu Makki’ di tangan Rasul diarahkan pada publik manusia pada ruang yang terbuka dalam arti yang sesungguhnya. Nilai–nilai pembebasan sebagai turunan langsung tauhid pada periode ini benar – benar unik karena turun dari lingkaran pewahyuan yang bebas dari ikhtiar politik – kekuasaan dari ‘negara’.

Mahmud Thaha mengkonstatir bahwa pesan yang diserukan di Mekah merupakan tujuan puncak sesungguhnya dari risalah Muhammad, sedangkan pesan Medinah tidak lebih sebagai kondisi transisional karena keterbatasan masyarakat dalam menerima pesan-pesan kemanusiaan universal. Pesan yang sesungguhnya merupakan identitas dan bahkan jantung dari makna islam sebagai agama kemanusiaan.8

Periode Madinah :Seruan Formatif Nabi yang Berkuasa
Periode ini ditandai oleh migrasi ( Hijrah ) Nabi dan para sahabatnya ke Yatsrib pada tahun 622 M akibat penolakan represif yang diikuti teror mengerikan dari para aristokrasi Mekkah atas seruan Rasul. Penduduk Yatsrib (terutama kabilah Aus dan Khajraj) yang terlibat konflik di antara mereka sangat membutuhkan figur yang dapat menjadi penengah di antara mereka.

Setibanya di Yatsrib (kemudian diubah nama menjadi Medinah) Rasul melakukan konsolidasi masyarakat dengan membuat sebuah konsensus yang disebut mitsaq madinah yang intinya berupa kesepakatan di antara beragam kelompok agama dan kabilah untuk hidup bersama dan saling melindungi kebebasan menjalankan hukum dan tradisi masing-masing.

Pada tahap inilah, Rasul menata masyarakat beriman dengan tatanan dan hukum yang diturunkan dari pemahamannya atas wahyu Al-Qur’an. Seruan Islam yang ditolak di Mekkah memperoleh tempat yang subur untuk diterapkan dalam masyarakat (ummat) yang merdeka dari intimidasi. Prinsip-prinsip wahyu Makki ditampilkan dalam Sunnah (tradisi aktual) yang ditampilkan Nabi dan masyarakat Medinah seturut basis nyata sejarah dan kebudayaan yang ada dalam pertahapan yang realistis.

Hukum-hukum masyarakat kota (negara) secara lebih rinci disusun dan dikembangkan di Medinah, dan sebagaimana organisasi masyarakat baru, diperlukan konsolidasi dan pelampiran identitas komunal yang tegas untuk menghadapi kelompok luar yang mengancam dalam sebuah dokrin jihad sebagai sikap dan tindakan mulia untuk melindungi sistem baru masyarakat beriman atas nama Tuhan (jihad fi sabilillah).

Jelaslah, periode ini adalah periode historis Islam dalam pengertian sebagai situasi dan ruang bagaimana pesan universal dari pembebasan dan penghormatan martabat manusia yang ditegaskan pada wahyu Makki memperoleh wujud aktual dalam sejarah manusia sejalan dengan kesanggupan internal yang melekat dalam sisitem kebudayaan dan intelektual masyarakat waktu itu.

Pada cermatan penulis, periode ini telah dijadikan parameter utama generasi selanjutnya dalam mengukur keabsahan pendekatan mereka atas wahyu Al-Qur’an yang dengan menarik secara sembrono aspek ajaran dan tradisi kultural dalam doktrin mengikuti al-salaf al-shalih sebagai satu idiologi bebas kritik. Dari sinilah pula terjadi perdebatan otentisitas Islam yang nyaris saling bersilang.

Pelapisan Ideologis dalam Sejarah atas Pesan Praxis Agama
Semerta setelah wafatnya Nabi terjadi pertikaian politis yang efeknya berlangsung sampai sekarang. Masyarakat beriman tumbuh berkembang menjadi satuan masyarakat politis di bawah kepemimpinan para Khalifah (pengganti Nabi). Praktek mereka dianggap sunnah (tradisi) Islam paling otentik yang diyakini memperoleh sandaran kuat dari tradisi sang Nabi.9
Pasca empat Khalifah terpercaya, masyarakat muslim tumbuh dan berkembang dalam pertaruhan agama negara di bawah dinasti-dinasti yang mengklaim memiliki legitimasi kharismatis dari lingkaran keluarga kenabian secara langsung atau tidak (Syi’ah dan Sunni) dalam waktu sangat panjang (sampai penutupan resmi Khilafah Utsmaniyah tahun 1924-an). Pesan Islam mengalami kristalisasi dalam doktrin-doktrin yang diidiologikan dalam pertaruhan kuasa-negara.

Dalam pertaruhan negara itulah wahyu Islam tumbuh dan berkembang dalam pelembagaan keilmuan Islam yang sangat akademis dengan orientasi kalam skolastis dan hukum (Fiqh) yang sangat formatif. dengan diawali oleh Ibnu Idris Al-Syafi’i (abad ke-2 H) yang mereduksi metode ijtihad ke dalam qiyas dan dibakukan oleh ijma. Meskipun terdapat beberapa pendekatan lain, akan tetapi secara umum direntang oleh efistime qiyas dan ijma`. Madhab hukum Andalusia yang dikukuhkan Ibnu Hazm selama beberapa abad ditolak sebagai bagian mainstraim Sunni, meskipun terbukti kemudian pandangan-pandangan sempalan dzahiriyah memiliki relevansi kuat dalam arus libertian masyarakat modern terutama yang terkait dengan hak-hak perempuan.

Hal perlu pencermatan, tradisi fiqh dan kalam skolastis sesungguhnya sangat memberi cetak biru pandangan dunia (Weltanschauung) masyarakat muslim dalam mengukur otentisitas kebenaran Islam, 10 padahal kedua tradisi ini dicurigai memiliki muatan Ideologi kekuasaan dalam pertaruhan-pertaruhan rumit wacana pemikiran Islam di abad pertengahan Islam yang kemudian dinyatakan tertutup di penghujung abad IV H/ X M.11

Secara khusus, dalam perkembangan mutakhir sekarang, hukum Islam dengan segenap turunan tafsirannya telah menjadi isu paling kuat dalam mengukur keabsahan kesetiaan individu maupun kelompok muslim atas syari’ah dengan melupakan kenyataan sesungguhnya dari temporitas hukum dalam sejarah, lebih jauh lagi pada pembacaan adanya penarikan semena konstruksi fiqh Islam dari lingkaran wahyu madani yang pada dasarnya lebih merupakan respon spesifik agama dalam sejarah dalam penerapan prinsip-prinsip wahyu Makki. Dalam banyak kasus kontemporer, Islam sebagai ‘pesan keagamaan’ telah lebih dipahami dalam identitas lembaga agama dalam katagori-katagori hukum dan kalam skolastik yang dalam banyak hal diturunkan dari pengalaman ‘Islam’ sebagai relasi kuasa negara, dan kontruksi pemikiran Islam yang ditarik dari lingkaran wahyu madani yang temporal.12

Problem inilah, dalam prakiraan Penulis, yang menyebabkan lapisan-lapisan simbolistik dari lembaga-lembaga agama jadi menjadi lebih dominan dibanding pesan essensial agama itu sendiri. Faktor inilah, dalam dugaan penulis, yang melatari kemunculan efisteme dalam tradisi ushul fiqh mutakhir yang dipelopori Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Najmuddin Al-Thufi, Izzuddin bin Abd. Al-Salam, Ibnu Ishaq Al-Syatibi, dan paling Mutakhir Muhammad Syahrur yang menggariskan sebuah pendekatan baru dalam hukum yang lebih etis-pragmatis dengan mengedepankan nilai-nilai dari tujuan syari’ah.

Menarik untuk dicermati pandangan Muhammad Syahrur yang menyatakan bahwa ‘islam’ secara substantif adalah identitas yang dapat disandang seluruh agama yang meneguh-asaskan keberadaan Tuhan, keyakinan atas ihwal eskatologis (akhirat), dan komitmen yang kuat untuk menjalan amal shalih.13 Dalam ranah ini, risalah Muhammadiyah ditegakkan sebagai saksi dan penguji (muhaiminah) atas kebenaran wahyu Allah yang diberikan kepada umat manusia yang terlampir dalam banyak agama dunia, bukan untuk menolak dan meniadakan keberadaan mereka.

Seorang muslim pada akhirnya, bukan sekedar istilah yang dilampirkan kepada seseorang karena lahir dalam suatu komunitas yang mendaku penganut ‘agama islam’ tetapi dia yang menerima dan sanggup menjalankan prinsip-prinsip universal kemanusiaan islam dalam pengertian yang sesungguhnya sebagaimana menjadi nilai dasar dari misi seluruh nabi.

Khatimah
Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan keberanian untuk membuka lapisan-lapisan yang mengurung identitas agama dalam ruang sejarah dan sosial yang sangat rumit. Setidaknya diawali oleh pemahaman atas peran kerasulan Muhammad S.A.W. sebagai pengukuh-asas-an atas kontinuitas pesan pembebasan yang dibawa oleh segenap agama langit, sehingga Islam dalam pengertian sesungguhnya dipandang sebagai agama kemanusiaan (the region of humanity) yang terbuka. Penganut Islam seyogyanya menjadi tokoh dalam barisan terdepan dalam dunia yang terbuka pada perjuangan pembebasan yang ditegakkan kepada penerimaan atas inklusifitas kebenaran serta pengakuan pluralitas atas adanya kemajemukan pandangan manusia dalam memahami kebenaran ilahiyah.

Term “ Islam “ bukanlah term simbolik melainkan sikap aktif dalam sejarah kemanusiaan, berjuang bersama umat manusia dunia memperjuangkan kemerdekaan dari penindasan, ketidakadilan, dan pencapaian martabat luhur. Kerasulan dan kenabian pada intinya merupakan kehadiran Tuhan di muka bumi dalam membebaskan manusia dalam pengertian yang sesungguhnya. Terpatlah apa yang dinyatakan DR. Nasr Hamied, “seruan Islam pada intinya adalah pengukuh-asasan nalar dalam lapangan pemikiran dan pengukuh-asasan keadilan dalam kehidupan masyarakat”.



--------slm---------
1Disampaikan dalam acara Ta`aruf Mahasiswa baru yang diselenggarakan KBMI IAIN SGD Bandung pada Senin 29 Agustus 2005.
2 Mohamad Arkoun seorang cendikiawan muslim modern kelahiran Al-Zajair yang tinggal dan mengajar di Francis, dalam banyak karya-karya ia menawarkan suatu pendekatan baru atas studi Islam yang lebih bebas dari idiologi yang melekat pada corpus-corpus muslim dalam ragam disiplin, sehingga dapat ditemukan otentisitas Islam yang benar-benar terbuka dengan nilai-nilai praxis aktual. (lih. Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Zaman Baru, INIS: Jakarta, 1996)
3
 Farid Esack melalui elaborasinya yang cukup mendalam berdasarkan pengalaman panjangnya dalam menentang Apartheid di Afrika Selatan menampakan pandangan-pandangan libertian tentang wacana Pembebasan dalam Al-Qur`an dalam tesisnya “ Qur`an Liberation and Pluralism “ an Islamic Persefective of Intereligius Solidarity against Oppression “. Pendekatan yang hampir serupa tetapi cenderung mitis penulis temukan dalam karya Mahmoud Mohamed Toha dalam “The Second Message of Islam” yang diterbitkan Syracuse University Press (1983).
4
 Mahmoud Toha menyebut wahyu Makki sebagai pesan kedua. Seruan utamanya adalah al-Islam dalam pengertian kepasrahan manusia atas Tuhan sebagai misi umum keNabian. Dalam pesan kedua, Islam ditampilkan dalam identitas universal yang dalam tataran ideal merupakan arah dari sistem etik global modern saat ini.
5
 Sebagai mufassir menafsirkan sab`u al-matsani ( tujuh ayat yang dibaca berulang ) sebagai tujuh cerita penyelamatan prophetik, yakni kisah Nabi Musa, Nuh, Ibrahim, Ad, Tsamud, Luth, bukan nama lain surat Al-Fatihah. Ketujuh kisah tersebut dianggap sangat penting karena memberikan gambaran dasar peran keNabian di masa lampau yang menjadi teladan dasar bagi ketahanan dakwah serupa yang diemban Nabi Muhammad S.A.W.
6 wewenang, meminjam istilah Arkoun, sebagai “keterikatan semerta seorang individu atau suatu kelompok pada kata-kata dan tingkahlaku seorang individu lain yang membawahkan dirinya sendiri terhadap tujuan-tujuan mereka yang mengikutinya”. Wewenang tidak mempersyaratkan persatuan, penaklukan, ketertundukan maupun pemberontakan.
7 sangatlah sulit dimengerti pandangan yang menempatkan prasyarat keislaman individu pada keterikatan formal negara dalam struktur hirarkies kekuasaan agama seperti yang diserukan oleh beberapa kalangan sementara ini.
8Lebih luas dapat dibaca dalam Mahmoud Thoha, The Second Message, The Syracuse Iniversity Press, 1983.
9 madzhab-madzhab hukum Sunni paling awal ( Malikiyah dan Hanafiyah) sangat mempercayai tradisi kolektif masyarakat muslim awal sampai era Tabi’in sebagi otoritatif diatas keabsahan hadits-hadits personal (ahad), samapai ketika Ibnu Idris Al-Syafi’i membongkar paradigma efistimologi Fiqh dengan menempatkan hadits ahad diatas sunnah masyarakat yang tidak lagi dipercaya dapat melindungi otentisitas kebenaran Islam karena fitnah yang hebat melandakaum muslimin
10 bahkan DR Abid al-Jabiri menyebut peradaban Islam sebagai peradaban fiqh sebagai mana Yunani dikenal dengan peradaban filsafatnya. Masyarakat muslim dalam keseluruhan kompleksitas peradaban ditentukan oleh hubungan relasional nilai normatif syari’ah yang diturunkan dalam fiqh. Seringkali ukuran kebenaran syari’ah diikat oleh anggitan-anggitan fiqh dengan seluruh variannya.
11 Idiologi-idiologi yang berkembang dalam sebuah struktur kebudayaan masyarakat muslim abad pertengahan berikut berbagai pertaruhan politik ekonomi dan sosial berpengaruh sangat kuat terhadap beragam tafsir ajaran dalam Al-Qur`an yang kemudian diturunkan dalam turats Islam. (lihat dalam DR Nasr Hamid Abu Zaid, Naq Khitab al-Dieny, Sina: Kairo, t.th. )
12 lih. Abdullah Ahmad al-Naim, Dekonstruksi Syari`ah : Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, pen. Ahmad Suaedi, Cet. I, Pustaka Pelajar : Yogyakarta
13 lebih luas dapat dibaca dalam DR Muhammad Syahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok (penerjemah Zaid Su`di), Jendela: Yogyakarta, 2002, hlm 13 dst

Menikmati Perbedaan

Bahwa perbedaan itu sunatullah dan manusia hidup dalam keriuhan perbedaan, semua orang tahu. Namun, bahwa manusia bisa menghargai dan menerima perbedaan? Nah, yang terakhir ini banyak orang yang tidak atau pura-pura kurang memahaminya. Padahal kita sendiri lahir dan besar dalam perbedaaan. Ayah dan ibu kita jelas saling berbeda: Jenis kelamin, watak , emosi, perilku, hobi dan lain-lain. Lalu, semua perbedaan keduanya berkumpul di dalam diri kita. Sehingga kalau kita marah orang akan berakata kamu seperti ayahmu, ketika sedang tertawa orang akan berkata, senyummu itu mengingatkanku pada ibumu.

Oleh karena itu, sungguh aneh, betapa banyak orang yang tidak mampu menghargai perbedaan dan tidak mau menerimanya. Betapa banyak orang yang menderita dan kehilangan gairah hidup karena itu.


FANATISME SEMPIT
Mengapa orang tidak bisa menerima dan menghargai perbedaan? Salahsatu sebabnya adalah karena sempitnya ilmu dan pengetahuan, sehingga orang melihat dan menghakimi orang lain berdasarkan keterbatasan ilmu yang dimilikinya.

Selain sempitnya ilmu dan wawasan, yang paling berbahaya dan menjadi sebab utama orang tidak menghargai dan menerima perbedaan adalah fanatisme. Fanatisme adalah salahsatu keyakinan merasa diri atau pendapatnya paling benar, sehingga jika melihat orang lain tidak sesuai dengan keyakinan dirinya, ia akan menganggapnya sebagai salah dan keliru. Sebenarnya hal itu tidaklah terlalu buruk, yang buruk dan berbahaya adalah, orang fanatik biasanya akan mudah menganggap orang yang salah atau keliru (dalam pandangannya) sebagai musuh.

Saya masih ingat ketika guru di pesantren mengajarkan bahwa orang yang tidak bewudhu tidak boleh menyentuh Al-Qur’an. Alasannya adalah firman Allah, “Al-Qur’an tidak disentuh kecuali oleh orang-orang suci”. Ketika kemudian kami -para santri- mendiskusikannya, ternyata ada seorang teman membantah. Katanya, orang-orang suci dalam ayat itu artinya umat islam. Jadi, orang islam baik berwudhu atau tidak, boleh menyentuhnya. Kata teman yang lain lagi, maksud orang-orang suci itu adalah malaikat, karena hanya malaikat yang suci dari dosa. Alhamdulillah,

Lalu apakah orang berilmu dan berwawasan luas otomatis bisa menghargai dan menerima perbedaan? Belum tentu juga. Sejumlah kyai atau dosen sangat benci jika ada santri atau mahasiswa mempertanyakan, mendebat, dan membantah pendapatnya. Padahal semua orang tahu mereka memiliki segudang ilmu. Ketidak siapan menerima pendapat yang berbeda dari orang lain biasanya berasal dari fanatisme sempit. Bila diselidiki lebih lanjut, fanatisme itu sendiri muncul dari sifat egosentris yang berlebihan. Pada akhirnya, sifat ini hanya akan mengarahkan kita pada keangkuhan yang membawa bencana. Mari sama-sama tidak melupakan bahwa Allah mengutuk siapa saja yang berjalan di muka bumi ini dengan penuh keangkuhan.

Orang yang awam yang tidak memiliki sifat fanatik, masih memungkinkan untuk bisa lebih menerima perbedaan. Lain halnya dengan orang fanatik, walaupun ia berilmu. Bagi siapapun yang berbeda pendapat dengannya, tidak tanggung-tanggung label yang keluar dari mulutnya: inkar sunnah, bid’ah, sesat, kafir, musyrik, dan sebagainya. Masya Allah! Sungguh benar ramalan Rasulullah bahwa islam hancur salahsatunya adalah karena umara (penguasa) dan fuqaha (ahli fiqih) yang kurang ilmu dan tidak bijak.

Oleh karenanya, jika kita memiliki semangat dan cita-cita untuk dapat menikmati perbedaan, solusi paling pertama adalah dengan memperluas wawasan keilmuan kita dan belajar menghargai pendapat orang lain, serta membuang jauh-jauh sikap fanatisme sempit. Semoga.

Nasihat Nabi Tentang Ilmu

Bismillahirrahmaanirrahim

Hanya kepada Allah kita menyampaikan segala pujian, karena hanya Ia yang berhak menerima setiap pujian. Salawat dan salam kita mohonkan untuk Rasulullah SAW, manusia pilihan yang senantiasa berada dalam pemeliharaan-Nya.

Saudara-saudaraku, pada suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Jika aku mendatangi hari baru, yang mana ilmuku tidak bertambah pada hari itu, yaitu ilmu yang membuatku semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla, maka tidak ada kebaikan (berkah) atasku dalam terbitnya matahari pada hari itu." (HR. Imam At-Tabrani).

Pernyataan Nabi SAW ini menyiratkan secara tegas akan pentingnya ilmu bagi seorang hamba Allah. Bahkan, ilmu menjadi indikasi paling awal bagi seorang hamba mengenai kualitas hidupnya setiap hari. Jika seseorang menjalani sebuah hari lalu ilmu pengetahuannya bertambah, dengan catatan ilmu yang diperolehnya semakin mendekatkannya kepada Allah, maka dipastikan bahwa hari yang ia lalui adalah hari yang penuh dengan kebaikan (berkah). Sebaliknya, jika seseorang tidak bertambah ilmu pengetahuannya, padahal Allah masih memberikan kesempatan hidup kepadanya maka hari-hari yang dilaluinya dinilai sia-sia karena tidak memberikan kebaikan apapun bagi dirinya.