Bahwa perbedaan itu sunatullah dan manusia hidup dalam keriuhan perbedaan, semua orang tahu. Namun, bahwa manusia bisa menghargai dan menerima perbedaan? Nah, yang terakhir ini banyak orang yang tidak atau pura-pura kurang memahaminya. Padahal kita sendiri lahir dan besar dalam perbedaaan. Ayah dan ibu kita jelas saling berbeda: Jenis kelamin, watak , emosi, perilku, hobi dan lain-lain. Lalu, semua perbedaan keduanya berkumpul di dalam diri kita. Sehingga kalau kita marah orang akan berakata kamu seperti ayahmu, ketika sedang tertawa orang akan berkata, senyummu itu mengingatkanku pada ibumu.
Oleh karena itu, sungguh aneh, betapa banyak orang yang tidak mampu menghargai perbedaan dan tidak mau menerimanya. Betapa banyak orang yang menderita dan kehilangan gairah hidup karena itu.
FANATISME SEMPIT
Mengapa orang tidak bisa menerima dan menghargai perbedaan? Salahsatu sebabnya adalah karena sempitnya ilmu dan pengetahuan, sehingga orang melihat dan menghakimi orang lain berdasarkan keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Mengapa orang tidak bisa menerima dan menghargai perbedaan? Salahsatu sebabnya adalah karena sempitnya ilmu dan pengetahuan, sehingga orang melihat dan menghakimi orang lain berdasarkan keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Selain sempitnya ilmu dan wawasan, yang paling berbahaya dan menjadi sebab utama orang tidak menghargai dan menerima perbedaan adalah fanatisme. Fanatisme adalah salahsatu keyakinan merasa diri atau pendapatnya paling benar, sehingga jika melihat orang lain tidak sesuai dengan keyakinan dirinya, ia akan menganggapnya sebagai salah dan keliru. Sebenarnya hal itu tidaklah terlalu buruk, yang buruk dan berbahaya adalah, orang fanatik biasanya akan mudah menganggap orang yang salah atau keliru (dalam pandangannya) sebagai musuh.
Saya masih ingat ketika guru di pesantren mengajarkan bahwa orang yang tidak bewudhu tidak boleh menyentuh Al-Qur’an. Alasannya adalah firman Allah, “Al-Qur’an tidak disentuh kecuali oleh orang-orang suci”. Ketika kemudian kami -para santri- mendiskusikannya, ternyata ada seorang teman membantah. Katanya, orang-orang suci dalam ayat itu artinya umat islam. Jadi, orang islam baik berwudhu atau tidak, boleh menyentuhnya. Kata teman yang lain lagi, maksud orang-orang suci itu adalah malaikat, karena hanya malaikat yang suci dari dosa. Alhamdulillah,
Lalu apakah orang berilmu dan berwawasan luas otomatis bisa menghargai dan menerima perbedaan? Belum tentu juga. Sejumlah kyai atau dosen sangat benci jika ada santri atau mahasiswa mempertanyakan, mendebat, dan membantah pendapatnya. Padahal semua orang tahu mereka memiliki segudang ilmu. Ketidak siapan menerima pendapat yang berbeda dari orang lain biasanya berasal dari fanatisme sempit. Bila diselidiki lebih lanjut, fanatisme itu sendiri muncul dari sifat egosentris yang berlebihan. Pada akhirnya, sifat ini hanya akan mengarahkan kita pada keangkuhan yang membawa bencana. Mari sama-sama tidak melupakan bahwa Allah mengutuk siapa saja yang berjalan di muka bumi ini dengan penuh keangkuhan.
Orang yang awam yang tidak memiliki sifat fanatik, masih memungkinkan untuk bisa lebih menerima perbedaan. Lain halnya dengan orang fanatik, walaupun ia berilmu. Bagi siapapun yang berbeda pendapat dengannya, tidak tanggung-tanggung label yang keluar dari mulutnya: inkar sunnah, bid’ah, sesat, kafir, musyrik, dan sebagainya. Masya Allah! Sungguh benar ramalan Rasulullah bahwa islam hancur salahsatunya adalah karena umara (penguasa) dan fuqaha (ahli fiqih) yang kurang ilmu dan tidak bijak.
Oleh karenanya, jika kita memiliki semangat dan cita-cita untuk dapat menikmati perbedaan, solusi paling pertama adalah dengan memperluas wawasan keilmuan kita dan belajar menghargai pendapat orang lain, serta membuang jauh-jauh sikap fanatisme sempit. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar